(DIKUTIP : MASUKITB.COM)

Dua puluh tahun silam di sebuah desa kecil di daerah pesisir selatan pulau jawa bagian timur, tepatnya di sebuah kabupaten bernama Trenggalek, lahirlah seorang anak manusia. Dan itu adalah aku. Hahaha... Gj banget ya ?! Maaf aku tidak begitu mahir menulis, jadi bingung mau mulai cerita darimana. Sebenarnya misiku menulis ini adalah untuk memberikan motivasi kepada adik-adik yang sekarang duduk di bangku SMA agar tidak patah semangat masuk ITB melihat biaya kuliah di ITB yang mahal. Namun apa boleh buat karena aku juga bukan motivator, aku akan  menceritakan kisahku saja sampai bisa mengenyam pendidikan di ITB. Mungkin ceritaku ini tidak seru, tidak lucu, tidak ekstrim atau bahkan tidak menarik. Tapi baca dulu saja, siapa tahu kamu mendapatkan satu hal baru dari ceritaku ini. Dan maaf kalau ada bagian yang agak lebay.

Aku terlahir bukan dari keluarga mampu. Orang tuaku adalah seorang buruh tani. Tapi alhamdulillah kebutuhan hidup keluarga selalu bisa tercukupi walau dalam keterbatasan. Ketika aku duduk di bangku SMP, Bapak pernah menasihatiku untuk melanjutkan sekolah ke SMK agar setelah lulus bisa langsung mencari kerja. Sebab jika melanjutkan ke SMA maka nanti harus kuliah dulu dan itu membutuhkan biaya yang sangat besar.

“Duwit soko ngendi Le ngge kuliah ?” begitu kata Bapak.

Kurang lebih artinya: uang darimana Nak buat biaya kuliah ? Dasar karena aku masih kecil aku menurut saja. Tapi tidak tahu sebab musababnya, tiba-tiba saja aku melanjutkan sekolah di SMA. Lha terus dapat dari mana biaya sekolah di SMA ? Selama SMA aku membiayai sekolah dari beasiswa dan mencari keringanan uang SPP dari sekolah. Agar menghemat biaya hidup juga tiap hari aku pulang pergi ke sekolah yang berjarak sekita 27 km (tidak ngekos maksudnya). Jadi tiap hari aku naik bus. Berarti enak tiap hari tinggal naik bus untuk kesekolah ? Enak dari hongkong, untuk sampai terminal aku harus bersepeda 3 km dan setelah bus sampai aku harus bersepeda lagi 2 km. Belum lagi kalo busnya lagi ramai, harus rela berdiri selama setengah jam.

Saat SMA ini lah aku merasa banyak berkembang. Aku tipe orang yang selalu ingin tahu, tapi aku juga tipe orang yang malu bertanya. Aku mencoba mancari tahu sendiri. Karena itu aku banyak mengikuti ekskul di sekolah, mulai dari Kelompok Ilmiah Remaja, Pecinta Alam, Patroli Keamanan Sekolah, Rohis, Palang Merah Remaja, Koperasi dan OSIS. Banyak sekali pengetahuan dan pengalaman yang aku dapatkan dari situ. Karena terlalu sibuk dengan kegiatanku di sekolah aku mulai merasa tidak efektif untuk pulang pergi dari rumah ke sekolah. Di sisi lain jika aku ngekost juga membutuhkan biaya. Disitulah salah satu manfaat ikut ekskul. Rohis memiliki ruang sekretariat yang berada di samping ruang utama masjid. Sebenarnya ruangannya cukup luas tetapi karena barang-barangnya yang kurang tertata jadi kelihatan sempit. Dengan sedikit melakukan tata ruang terhadap sekretariat rohis ini, akhirnya aku memutuskan untuk ngekost di sini. Lumayan ngekost gratis dan sebagai gantinya harus rajin-rajin bersihin sekretariat rohis dan masjid. Dan mulai saat itu aku dapat gelar M. M. Bukan Magister Management tapi “merbot masjid”.

Selain aktif di ekskul, aku juga sering mengikuti lomba-lomba yang diadakan universitas-universitas. Ya walaupun tidak terlalu pintar. dengan modal optimis alhamdulillah selalu bisa menembus babak semifinal dan diundang ke kampus universitas yang mengadakan lomba. Dan dasar hanya modal optimis tidak satupun yang dapat juara satu. Tapi tidak masalah karena pengalaman yang aku dapat jauh lebih berharga dan aku dapat informasi mengenai berbagai universitas. Selain itu biasanya jika lolos semifinal sekolah akan memberikan uang saku untuk transportasi. Lumayan bisa jalan-jalan dapat uang saku pula.
Saat SMA aku mempunyai dua orang sahabat. Namanya Capri dan Anta. Mereka sudah seperti adikku sendiri. Kami memiliki latar belakang ekonomi yang kurang lebih sama. Orangtua Anta juga petani sedangkan orangtua Capri adalah pensiunan kepala sekolah. Kami juga satu kosan ketika kelas tiga. Tapi lagi-lagi bukan kosan biasa. Kami menempati sebuah Lembaga Bimbingan Belajar. Kebetulan kami kenal baik dengan pimpinan LBB tersebut. Karena tahu tempat tinggal kami jauh dari sekolah, beliau menawarkan untuk menempati sebuah ruangan yang kebetulan kosong. Sekalian jaga LBB kalau malam. Beliau juga menawarkan untuk jaga parkir ketika sore dengan gaji yang pantas. Lumayan gajinya bisa buat beli buku atau buat jajan. Dan mulai hari itu aku dapat gelar lagi T. P. Bukan Teknik Pisika tapi “tukang parkir”.

Kami bertiga memiliki impian masing-masing setelah lulus SMA. Kami sempat membuat mindmap cita-cita kami ketika baru kelas tiga. Capri ingin melanjutkan kuliah di UGM, entah apa alasannya tidak jelas. Sedangkan Anta dan aku ke ITS karena kami sering ikut lomba disana. Tapi kenyataannya sekarang tidak ada satupun dari kami bertiga yang memenuhi target. Semua berawal ketika aku bertemu dengan salah seorang seniorku di ekskul Pecinta Alam yang hari itu kebetulan berkunjung ke sekretariat PALA. Umurnya sepertinya lima tahun diatasku. Dia sekarang bekerja di Pertamina. Waktu itu dia juga banyak bercerita tentang kuliahnya dulu. Dia alumni ITB.

ITB. Sepertinya kata itu merupakan kosa kata baru dalam kamus otakku. Kata itu begitu asing. Karenanya aku ingin tahu lebih banyak tentang ITB. Dan dari beberapa sumber mengatakan bahwa ITB itu institut paling tua di Indonesia, dijuluki Institut Terbaik Bangsa (entah karena apa) dan biaya kuliahnya mahal. Kata terakhir yang perlu digaris bawahi. Ketika itu tidak terbersit sedikitpun dalam pikiranku untuk meneruskan kuliah di ITB karena kata yang digaris bawahi itu. Sehingga kata itu hanya menjadi angin lalu dan aku meneruskan untuk mewujudkan tujuanku yang sudah aku tulis di mindmap. Sampai ketika masa-masa penuh cobaan itu datang.

Kelas tiga semester dua berbagai universitas mulai membuka pendaftaran mahasiswa baru melalui jalur PMDK. Teman-temanku mulai berlomba-lomba mendaftar di universitas favorit masing-masing, begitupun aku. Tapi sepertinya Allah belum mengizinkanku masuk di universitas favoritku. Cukup sedih juga rasanya. Tapi aku harus bersabar. Setelah itu aku mencoba mendaftar ke beberapa universitas lain dengan parameter utama yaitu dapat beasiswa. Aku sempat mendaftar di UNS jurusan pendidikan, tapi tidak diterima. UGM jurusan teknikpun tidak luput dari percobaanku, tapi lagi-lagi aku belum berhasil. Aku sudah mendaftar di beberapa universitas, tapi tidak ada satupun yang diterima. Aku sempat down waktu itu. Apalagi ketika tahu salah satu teman sekelasku diterima di jurusan kedokteran. Masa aku kalah. Aku menjadi tertantang untuk mendaftar ke jurusan kedokteran. Dengan sisa-sisa semangat yang ada akupun mendaftar ke Unair jurusan kedokteran Bagian ini sepertinya harus akau ceritakan dalam paragraf baru.

Sebelumnya tidak pernah ada keinginan secuilpun untuk masuk jurusan kedokteran. Bahkan jurusan ini cenderung aku hindari. Salah satu sebabnya adalah biaya kuliah di kedokteran yang sangat mahal. Mungkin ini bisa disebut keinginan sesaat yang bukan berasal dari hati nurani. Satu-satunya motivasiku mendaftar ke kedokteran adalah melihat salah satu teman sekelasku bisa masuk kedokteran. Aku ingin membuktikan aku tidak kalah dengannya. Sejak itu aku bertekad untuk masuk universitas minimal sepadan dengan kedokteran. Mungkin muncul satu pertanyaan, mengapa satu orang ini yang masuk kedokteran bisa begitu mempengaruhiku ? Padahal banyak juga anak-anak yang bisa masuk kedokteran. Jawabannya karena dia adalah perempuan yang selama ini menarik perhatianku.

Kita flashback sejenak ke masa-masa awal kelas dua SMA. Sebagai remaja yang tengah memasuki masa-masa puber, normal bagi laki-laki memiliki ketertarikan dengan lawan jenis. Begitupun aku. Kalau anak muda sekarang sih biasa menyebutnya “jatuh cinta” atau suka. Sebenarnya aku kurang setuju dengan kata itu. Tapi agar tidak terjadi salah persepsi, kita ikuti saja budaya mayoritas anak muda zaman sekarang. Aku suka padanya sejak pertama kali melihatnya ketika baru masuk kelas dua (so sweet banget). Apalagi setelah itu kami sering berinteraksi karena sekelas. Dia gadis yang cantik, pintar juga, cukup kaya, orangnya baik, mantablah pokoknya. Dan aku, tampanpun tidak, pintar juga tidak, kaya apalagi, kosan aja di sekretariat rohis, jadi tukang parkir pula di LBB. Kebetulan dia juga kursus di LBB tersebut. Semakin minderlah aku. Aku juga tipe orang yang pendiam dan pemalu. Karena itu aku tidak pernah menunjukkan rasa sukaku itu. Sekedar menceritakannyapun tidak. Aku terlalu malu untuk melakukannya. Bahkan kepada dua orang sahabatku, Capri dan Anta. Walhasil perasaanku itu hanya bisa kupendam sampai akhir kelas tiga. Dan sampailah ketika dia diterima di kedokteran. Aku tidak mau kalah dengannya. Karena itulah aku mendaftar ke kedokteran. Memang niatku sudah salah sejak awal, dan akupun tidak diterima. Aku semakin terpuruk waktu itu. Tapi aku harus terus bersabar.

Satu hal yang bisa mengobati keterpurukanku adalah ketika Anta dan Aku mendaftar beasiswa ke UM jurusan pendidikan yang akhirnya menerima kami. Alhamdulillah akhirnya diterima juga. Tapi dibandingkan dengan kedokteran ? Rasanya aku masih ingin dapat lebih. Mungkin  aku terlalu tamak waktu itu. Astaghfirullohal’adhim. Seharusnya aku mensyukuri diterimanya aku di UM. Setelah aku sadar, aku mencoba meluruskan kembali niatku.

Entah bagaimana ceritanya Anta dan aku secara tidak sengaja mendapat informasi beasiswa kuliah selama empat tahun, tetapi di ITB. Jauh banget di bandung. Beasiswa itu bernama Beasiswa ITB untuk Semua (BIUS). Dengan slogannya “Agent of Change”. Beasiswa ini begitu menarik karena selain membiayai biaya kuliah selama empat tahun juga memberikan baiya hidup selama kuliah serta tunjangan-tunjangan lain. Belum pernah aku menemukan beasiswa yang begitu menggiurkan seperti ini. Bolehlah dicoba, yang penting kuliah dan dapat beasiswa walaupun di ITB.

Aku sempat bimbang akan mendaftar atau tidak mengingat tempatnya yang jauh. Di kota besar pula dengan julukannya Paris van Java. Tapi aku teringat akan petuah Bapak. Beliau mendapatkannya dari kakek, kakek mendapatkannya dari ayah kakek, ayah kakek mendapatkannya dari kakeknya kakek dan seterusnya sampai zamannya Mpu Sendok atau bahkan lebih.

Beliau berkata (langsung ditranslate ke bahasa indonesia aja ya) bahwa, “Nak, jika kamu ingin berhasil dan sukses. Kamu tidak bisa hanya berdiam diri di kampung. Kamu harus berani merantau ke kota. Turun gunung berjuang memperbaiki nasib di sana dan kelak membawa serta kampung ini sukses sepertimu”.

Kata-kata itulah yang menjadi motivasiku melangkah ke ITB. Aku tidak ragu merantau jauh dari kampung halaman menuju kota besar. Turun gunung  dari Trenggalek menuju Bandung.

Mulailah Anta dan aku melengkapi berkas-berkas untuk mendaftar BIUS. Melihat persyaratan yang harus dipenuhi aku cukup optimis bisa dapat beasiswa ini.

“Pengahasilan kedua orang tua calon penerima beasiswa di bawah atau sama dengan Upah Regional Minimum (UMR).”

terpenuhi.

“Memiliki prestasi akademik yang baik.”

ya walaupun tidak baik-baik amat.

“Aktif di kegiatan organisasi dan ekstrakulikuler semasa di SMU dan sederajat.”

hiperaktif alias terlalu aktif bahkan.

“Memiliki prestasi non-akademik.”

yang ini sepertinya tidak terpenuhi.

 Tapi aku tidak boleh mundur. Aku tidak akan tahu sebelum mencobanya. Aku lihat Anta begitu antusias. Lebih antusias dariku bahkan. Bertambahlah semangatku melihat antusiasmenya. Kesana kemari kami mencari surat-surat untuk melengkapi berkas persyaratan yang harus dipenuhi.  Mulai dari surat keterangan penghasilan orang tua. keterangan tidak mampu dari RT/RW dan dinas sosial daerah setempat minimal setingkat kecamatan, kartu keluarga, dll (dan lainnya lupa). Dan yang paling aku ingat adalah membuat essay/karangan singkat tentang calon penerima beasiswa, keluarga, cita-cita dan kegiatan calon penerima beasiswa. Aku lupa menulis apa dulu. Tapi kurang lebih seperti yang aku ceritakan di atas.

Tidak seperti sekarang lewat jalur undangan yang harus kolektif dari sekolah, waktu itu Anta dan aku mendaftar ke ITB secara individual. Mirip dengan jalur ujian tulis. Kami cukup kesulitan mendaftar karena BIUS saat itu masih baru. Pertama kali ada waktu tahunku, tahun 2009. Pihak sekolah mengaku tidak mengetahui tentang beasiswa ini. Sehingga mulai dari mencari informasi sampai mengirim berkas pendaftaran kami lakukan sendiri. Satu-satunya sumber informasi kami dapatkan dari internet. Walaupun harus mengorbankan uang makan untuk ngenet. Semuanya demi kuliah gratis di ITB. Setelah semua berkas terpenuhi kami mengirimkannya lewat pos. Perjalanan mengayuh sepeda 2 km dari sekolah ke kantor pos itu rasanya tidak akan terlupakan.

Hingga akhirnya kabar baik itu datang. Kami tersaring sebagai 200 besar calon penerima BIUS dan diundang ke Bandung mengikuti USM ITB terpusat. Seluruh biaya transport, akomodasi dan konsumsi akan ditanggung pihak BIUS. Subhanalloh. Kami begitu gembira. Kami tidak menyangka akan tersaring, padahal pendaftar BIUS berjumlah 3000 pelamar lebih. Dan yang paling membuatku bersemangat adalah kami harus pergi naik pesawat terbang karena pihak BIUS telah menyediakan tiketnya. Asyik, jalan-jalan gratis naik pesawat. Begitu pikirku. Aku kira hanya dalam mimpi aku bisa naik pesawat terbang. Tapi jangan terlena dulu. Perjuangan yang sebenarnya baru akan dimulai. Kami harus mengikuti USM ITB terpusat dan bersaing dengan 200 calon penerima BIUS lain untuk mendapatkan satu kursi dari sekitar 50 kuota yang disediakan.

Hari itu, kamipun terbang ke Bandung. Dalam perjalanan itu yang paling kuingat adalah ketika aku memakan bekal dari rumah. Ibuku membuatkannya tadi pagi. Aku terbayang keluargaku, terbayang Ibuku, Bapakku dan adikku. Terimakasih Ibu, terimakasih Bapak, atas semua yang telah kalian berikan padaku. Pengorbanan, kerelaan, keikhlasan, tuntunan, pengajaran, bimbingan, nasihat kalian, akan menjadi bekal hidupku di masa depan.

Di Bandung kami menginap di Asrama PPI. Aku lupa kepanjangannya, pokoknya I-nya infantri aja. Di sana kami bertemu dengan 200 pelajar dari seluruh penjuru Indonesia. Mereka kelihatannya pintar-pintar dan rajin-rajin. Terbukti ketika malam hari di asrama, sebagian besar dari mereka membentuk kelompok-kelompok belajar. Mereka saling bertanya, saling menjawab, membolak-balik halaman buku dan menjelaskan dengan yakin kepada teman-teman lain dalam satu kelompok itu. Ada juga beberapa relawan beasiswa yang berkeliling, mengajari beberapa materi yang kira-kira akan keluar dalam ujian nanti. Tidak hanya itu, ketika menengok ke mushola asrama, subhanalloh, banyak juga dari mereka yang sedang berdo’a, membaca Al Qur’an atau sholat sunnah. Hebat sekali perjuangan mereka. Aku jadi malu pada diriku sendiri, perjuangan apa yang telah aku lakukan. Kesini tidak membawa buku untuk belajar, dalam berdo’a pun rasanya aku tidak sekhusyuk mereka. Aku minder juga jadinya. Tapi aku tidak boleh pesimis, harus tetap tawakal dan sabar.

Sehari sebelum ujian kami harus mendaftar ulang terlebih dahulu ke gedung rektorat ITB. Banyak sekali yang daftar ulang waktu itu hingga terbentuk antrian yang panjang. Sudah begitu sedikit terbentur masalah karena belum melampirkan surat keterangan tidak buta warna sehingga kami harus berlari ke Bumi Medhika Ganesha untuk mencari surat tersebut. Di BMG masih harus mengantri lagi, padahal loket pendaftaran ulang akan segera ditutup. Tapi beruntung panitia memberikan tambahan waktu beberapa jam. Aku sangat ingat dulu akulah yang daftar ulang paling akhir. Ada juga beberapa anak yang sudah daftar ulang dari tadi tetapi masih ada masalah dengan berkas-berkas mereka. Yang tidak kalah seru ketika berangkat ujian. Peserta ujian dituntut tidak boleh telat. Karena letak asrama yang cukup jauh dari kampus kami, mengantisipasi dengan berangkat pagi-pagi. Tapi apa mau dikata, ternyata rombongan yang naik mobil infantri terjebak macet di jalan, di dekat rektorat. Mengingat waktu sudah mepet, akhirnya kami putuskan untuk turun dan berlari ke tempat ujian masing-masing. Waktu itu aku harus lari ke Sabuga, Sasana Budaya Ganesha. Sungguh pengalaman yang tidak mudah untuk dilupakan.

Setelah menetap di Bandung selama tiga hari untuk mengikuti USM ITB terpusat, akhirnya waktu kami untuk pulang. Mengingat bagaimana aku mengerjakan soal-soal ujian kemarin, rasanya pesimis bisa masuk ITB, apalagi diterima BIUS. Tapi harus tetap tawakal dan sabar. Semua daya telah diupaya, yang tersisa hanyalah do’a semoga asa bisa digapai di depan mata.

Kita melompat ke hari pengumuman mahasiswa baru USM ITB terpusat. H-1 pengumuman aku, Anta dan Capri sengaja tidur dirumah Capri agar besoknya kami bisa bareng-bareng melihat pengumuman di internet. Paginya kami mengayuh sepeda ke kota kabupaten yang berjarak sekitar 25 km dari rumah Capri untuk mencari warnet. Sebenarnya di dekat rumah Capri ada warnet atau bisa juga naik bus, tapi agar lebih dramatis kami berjuang mengayuh sepeda 25 km. Karena sepertinya aku terlalu kekenyangan sarapan di rumah Capri, sepanjang perjalanan aku sudah menahan ingin boker. Karena itu begitu sampai di warnet aku bimbang harus memprioritaskan ITB atau boker. Dan dengan bijak aku memilih boker terlebih dahulu. Di lain pihak, Anta langsung browsing dan melihat pengumuman itu. Di lain pihak lagi aku sudah menyelesaikan hajatku. Aku langsung bertanya pada Anta bagaimana pengumumannya. Ternyata Anta tidak diterima. Mendengarnya aku langsung optimis tidak diterima. Tapi begitu aku lihat dan mengetikkan nomor pesertaku. Ajaib sekali, aku diterima. Subhanalloh. (bagian yang ini kayaknya nggak seru bansget ya).

Alhamdulillahirobbil’alamin. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Hanya kata-kata itu yang mampu kuucap ketika melihat pengumuman USM ITB Terpusat. Aku yang anak desa ini ternyata akan bisa mengenyam pendidikan di sebuah Institut ternama seperti ITB. Seketika itu ada perasaan yang menarikku untuk segera pulang, menyampaikannya kepada kedua  orangtuaku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana bangganya mereka ketika mengetahui kabar bahagia ini. Benar saja, ketika aku sampai di rumah dan memberitahu kedua orangtuaku bahwa aku diterima di ITB, Ibuku langsung memelukku dengan erat. menciumi wajahku, keningku dan pipiku. Begitupun ayahku ikut memelukku dan Ibuku. Aku sangat bahagia waktu itu. Ibu bilang rizki ini bukan hanya sekedar seperti kejatuhan emas sekarung, tapi setara dengan intan segunung. Kayak Ibu pernah melihat emas sekarung aja, begitu pikirku.

Begitulah kawan, aku telah membuktikan bahwa biaya kuliah yang mahal bukan menjadi alasan untuk berhenti menggapai impian. Justru tawakal dan sabarlah kuncinya. Dengan perjuangan yang gigih dan pantang menyerah percayalah kalian bisa.
Setelah membaca sedikit cerita diatas semoga kawan-kawan semakin optimis untuk melangkah ke kampus ganesha ini. Mungkin banyak dari kawan-kawan yang mendengar kabar dari media maupun dari perkataan orang bahwa biaya kuliah di ITB sekarang mahal. Apalagi sedang hangat-hangatnya berita tentang 55 juta rupiah itu. Memangnya mulai sekarang aja biaya kuliah di ITB mahal ? Dari dulu kali. Haha.. bercanda. Dulu aku juga berpikir sama seperti kawan-kawan. Tapi aku telah membuktikan sendiri bahwa itu tidaklah benar. Banyak sekali kesempatan kawan-kawan untuk mendapatkan beasiswa. Baik ketika masuk ataupun ketika telah menempul kuliah.

Dalam situs penerimaan mahasiswa baru ITB memang benar disebutkan tentang biaya kuliah di ITB bahwa,

“Biaya penyelenggaraan pendidikan terdiri atas komponen Biaya Penyelenggaraan Pendidikan yang dibayar di Muka (BPPM) yang di bayar sekali pada saat pendaftaran sebagai mahasiswa baru dan komponen Biaya Penyelenggaraan Pendidikan per Semester (BPPS) yang dibayar pada setiap awal semester.”

“Untuk mahasiswa baru yang diterima di fakultas/sekolah bukan SBM pada tahun 2011 BPPM ditetapkan sebesar Rp 55.000.000,- per mahasiswa dan BPPS ditetapkan sebesar Rp 5.000.000,- per mahasiswa per semester. Sedangkan untuk calon mahasiswa yang diterima di SBM, BPPM ditetapkan sebesar Rp 80.000.000,- per mahasiswa dan BPPS dihitung berdasarkan jumlah SKS yang diambil dengan biaya Rp 750.000,- per SKS.”

Bagi orang-orang yang mampu mungkin besarnya biaya itu tidak menjadi masalah, tapi bagaimana dengan orang-orang yang tidak mampu ? Nah inilah bedanya orang yang benar-benar ingin masuk ITB dan tidak. Bagi mereka yang bemental rendah setelah membaca tulisan itu pasti akan langsung menyerah. Tapi aku yakin kawan-kawan sekalian adalah orang yang memiliki mental baja untuk bersungguh-sungguh ingin masuk ITB. Orang yang bersungguh-sungguh pasti tidak akan mudah putus asa. Dia akan mencari celah dengan keterbatasan yang ada untuk bisa mencapai impiannya. Dan ITB telah memberikan celah itu secara gamblang. Dalam situs itu pula disebutkan bahwa,

“Subsidi 100% baik BPPM maupun BPPS akan diberikan kepada mahasiswa baru yang berasal dari keluarga golongan ekonomi lemah dengan penghasilan keluarga yang tidak memungkinkan membiayai studi anggota keluarganya di perguruan tinggi. Sesuai dengan ketentuan pemerintah, ITB mempersiapkan subsidi 100% ini bagi minimum 20% dari jumlah mahasiswa yang akan diterima, yakni untuk lebih dari 600 mahasiswa baru. Ketentuan ini berlaku untuk seluruh mahasiswa baru yang diterima termasuk di SBM.”

“Bagi orang tua calon mahasiswa yang diterima bukan di SBM yang memerlukan bantuan parsial untuk pembiayaan putra/putrinya dapat mengajukan permohonan subsidi BPPM yang akan dipertimbangkan sesuai dengan kemampuan ekonominya. Besarnya subsidi akan bervariasi: 25%, 50%, atau 75%.”

Kurang apa coba kesempatan yang diberikan ITB. 20% alias 600 lebih orang kuliah gratis di ITB gitu loh. Optimislah kawan-kawan bisa menjadi salah satu dari 600 orang tersebut. Itu bukan jumlah yang sedikit kan ?! Perlu dicatat 20% disini bukan hanya berasal dari jalur undangan, tetapi juga bisa berasal dari jalur ujian tulis. Jadi buat kawan-kawan yang ikut ujian tulis masih punya banyak kesempatan pula. Catatan lagi mungkin yang belum dicantumkan bahwa subsidi yang bervariasi: 25%, 50%, atau 75% tersebut akan diberikan kepada minimal 40% mahasiswa baru. Bagi kawan-kawan yang mungkin nanti kurang beruntung tidak termasuk dalam beasiswa penuh masih berkesempatan untuk masuk dalam kategori ini.

Sekarang apakah kalian percaya bahwa tidak perlu uang 55 juta untuk masuk ITB. Cukup dengan uang tidak sampai 55 ribu bisa masuk ITB. 15 ribu untuk biaya pengetikan di warnet dan mencetak berkas-berkas persyaratan pendaftaran beasiswa. 15 ribu untuk mencari surat keterangan sehat, itupun dapat beberapa lembar bisa digunakan untuk mendaftar ke beberapa universitas lain. 15 ribu biaya internet untuk mendaftar on line, mencari info, melihat pengumuman, kirim e-mail, up date status facebook, nge-tweet, dsb. 10 ribu untuk mengirim berkas-berkas ke gedung rektorat ITB lewat pos. 2 ribu untuk beli nasi pecel di warung dan 1 ribu untuk beli es degan saat kehausan ketika bersepeda ke kantor pos. 1 ribu untuk mengisi kotak amal di masjid. Dan sisa 1 ribu bisa dilaminating dan dipajang di rumah. Bukti perjuangan masuk ITB. (Jangan dipercaya data ini tidak akurat, just kidding. Hanya sekedar untuk menambah motivasi).

Memang hanya orang-orang super yang bisa masuk ITB menurutku. Super pintar, super kaya, super aktif, super semangat, super optimis, super nekat, super pas-pasan, super nyeleneh, super beruntung dan super-super lainnya. Menurut kawan-kawan aku termasuk kategori yang mana ? Kalau boleh aku bilang aku termasuk orang yang super beruntung. Kenapa ? Karena aku sabar. “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan sabarkan orang lain, bersiapsiagalah, dan bertakwalah kepada allah, supaya kamu beruntung[QS 3 : 200]. Dan kalau aku yang hanya anak desa yang super beruntung ini bisa masuk ITB, kenapa kalian tidak. Aku yakin kawan-kawan lebih baik dariku, lebih semangat, lebih optimis. Aku bisa melihat itu dari sorot mata kawan-kawan. Percayalah padaku.

Sekarang yang harus kawan-kawan lakukan adalah berusaha dengan sungguh-sungguh semaksimal kemampuan kawan-kawan. Dan setelah seluruh usaha dikerahkan, senjata terakhir yang ampuh adalah do’a. Karena kita sebagai manusia hanya bisa berusaha, hasilnya Allah yang menentukan. Dan percayalah apapun hasilnya nanti, itulah yang tebaik untuk masa depan kita. Semuanya akan indah pada waktunya.

9 komentar:

Unknown mengatakan...

Tergugah dengan anda.... Barakallahu fiiki

Unknown mengatakan...

Subhanallah..
Mudah mudahan aku bisa masuk ITB, Aminn. Bisa sukses seperti kakak.

Ini merupakan motivasi utk masuk ITB

Unknown mengatakan...

Subhanallah..
Mudah mudahan aku bisa masuk ITB, Aminn. Bisa sukses seperti kakak.

Ini merupakan motivasi utk masuk ITB

Unknown mengatakan...

Subhanallah..
Mudah mudahan aku bisa masuk ITB, Aminn. Bisa sukses seperti kakak.

Ini merupakan motivasi utk masuk ITB

Selvi AV mengatakan...

Subhanallah...aku terharu membacanya, aku jadi semngat 😊

Selvi AV mengatakan...

Subhanallah...aku terharu membacanya, aku jadi semngat 😊

I'm Yogie mengatakan...

Terima kasih Kk jadi termotivasi nih

Unknown mengatakan...

Trenggalek mana kak?? Dan alumni mana???

Unknown mengatakan...

Trenggalek mana kak?? Dan alumni mana???

Posting Komentar

Copyright © 2012 OASIS PAMEKASAN / Template by : Urangkurai